Yayasan Riyadhus Shalihin Indonesia

Islam di Flores Timur

Islam di Flores Timur

Source : http://hurek.blogspot.com

Flores is a Catholic island! Julukan ini tidak berlebihan. Maklum, sejak abad ke-15, daerah ini menjadi salah satu basis utama penyebaran agama Katolik di Nusantara.

“Seperti Maluku, Flores juga menjadi tempat berpijak yang paling penting bagi pedagang-pedagang Portugis dan kegiatan misionaris selama kehadiran mereka di Indonesia hingga 1512 hingga 1605,” tulis Kapten Tasuku Sato dan Mark Tennien dalam bukunya I Remember Flores, New York, 1957.

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Thom Wignyanta, wartawan senior, surat kabar mingguan DIAN yang terbit di Ende.

“Yang pertama-tama berkarya di Flores ialah para padri Dominikan yang berasal dari Portugis. Mereka membuka misi pertama di Pulau Solor, kira-kira 350 tahun lalu. Dari Solor mereka berpindah ke Larantuka dan Maumere yang terletak di pantai utara Flores. Karya mereka pada abad ke-17 itu boleh dikatakan berhasil baik. Meskipun jumlah imam sedikit, toh berhasil menobatkan beberapa ribu orang dari pulau itu,” tulis Tasuku Sato, komandan Angkatan Laut Jepang di Flores pada 1943.

Pada 1914-1920 ada dua kongregasi yang bekerja di Flores, yakni Serikat Yesus alias Societas Jesu (SJ) dan Societas Verbi Divini (SVD). Pada 1920 Serikat Yesus meninggalkan Flores, dan menyerahkan tongkat penggembalaan umat Katolik kepada SVD. Sampai sekarang Flores umumnya dikenal sebagai basis SVD paling besar di dunia.

Yang menarik, seperti dikutip Frans M. Parera (2002), sebelum misi Katolik ini masuk sudah ada penduduk Flores yang menganut agama Islam. Selain itu, tentu saja ‘agama asli’, yang masih mayoritas mutlak. Tidak disebutkan kapan persisnya Islam masuk ke Flores. Di sekolah-sekolah di Flores Timur, sejarah masuknya Islam ke Flores Timur praktis tak pernah diajarkan.

“Biara SVD berkompetisi dengan juru dakwah agama Islam di Flores untuk mengembangkan agama masing-masing…. Ternyata, Biara SVD lebih unggul dalam strategi marketing mereka daripada juru dakwah dari lingkungan agama Islam untuk berpengaruh di tengah-tengah suku-suku Flores Tengah dan Flores Barat. Suku-suku etnis itu mayoritas memeluk agama Katolik sepanjang abad ke-20,” tulis Frans Parera dalam buku yang sama.

Dari sini, saya berkesimpulan bahwa agama Islam sudah hadir di Flores sebelum tahun 1512. Jadi, bukan agama baru. Penyebaran Islam tak lepas dari aktivitas nelayan atau pelaut asal Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau daerah-daerah lain di Nusantara. Ingat, Flores Timur adalah daerah pesisir yang sangat mudah dijangkau perahu atau kapal laut.

Bung Karno (Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia) pada 1934-1938 diasingkan oleh rezim Hindia Belanda di Pulau Flores, tepatnya Ende. Di Flores inilah Bung Karno banyak memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam, berkorespondensi dengan ulama-ulama terkenal di Jawa, menulis artikel-artikel menarik seputar Islam, dialog dengan kiai di Flores, serta tak lupa berdiskusi dengan pastor-pastor SVD.

Bung Karno punya sahabat karib Pater Huyting SVD, misionaris di Biara Santo Yosef, Ende. Dari sinilah Bung Karno menulis ’surat-surat Islam’ dari Flores, yang bisa kita baca di buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’.

Saya kutip tulisan Bung Karno di ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ Jilid I halaman 330-331:

“… saja sendiri banjak bertukaran fikiran dengan kaum pastoor di Endeh. Tuan tahu bahwa Pulau Flores itu ada ‘pulau missi’ jang mereka sangat banggakan. Dan memang pantas mereka banggakan mereka punja pekerdjaan di Flores itu. Saja sendiri melihat bagaimana mereka bekerja mati-matian buat mengembangkan mereka punja agama di Flores. Saya ada respect buat mereka punja kesukaan bekerdja itu. 

“Kita banjak mentjela missi, tapi apakah jang kita kerdjakan bagi menjebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa missi mengembangkan roomskatholicisme, itu adalah mereka punja hak yang kita tak boleh tjela atau gerutu. Tapi kita, kenapa kita malas? Kenapa kita teledor? Kenapa kita tak mau kerdja? Kenapa kita tak mau giat? Kenapa misalnja di Flores tiada seorang pun muballigh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam jang ternama (misalnja Muhammadijah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? 

“Missi di dalam beberapa tahun sahadja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores. Tapi berapa orang kafir yang bisa ‘dihela’ oleh Islam di Flores itu? Kalau difikirkan, memang semua itu salah kita sendiri, bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanja diperhinakan orang!” 

Agama Islam memang bukan agama baru di daerah saya, Flores Timur. Kita sangat mudah menemukan masjid, langgar, surau di kampung-kampung. Jauh lebih sulit menemukan kapela, apalagi gereja, di Jawa ketimbang menemukan masjid.

Di desa saya, Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, ada Masjid Nurul Jannah yang megah, dibangun secara gotong-royong oleh penduduk (mayoritas Katolik), padahal umat Islam hanya segelintir. Justru tak ada gereja meskipun 97 persen penduduk beragama Katolik (plus agama asli). Kami bangga dengan masjid itu. Itulah simbol toleransi, Bhinneka Tunggal Ika.

Ini jarang saya jumpai selama belasan tahun tinggal di Pulau Jawa. Di Jawa, jangankan bekerja bahu-membahu bikin rumah ibadah agama lain, sekadar memberi restu atau izin saja susahnya minta ampuuuuun! Gereja yang sudah berdiri pun masih dipertanyakan izin-izinnya.

Saya bisa membagi pemeluk Islam di Flores Timur dalam tiga kategori. Pembagian ini hanya garis besar, tidak ilmiah, hanya untuk memudahkan pemahaman kita tentang komunitas Islam di Flores Timur, Provinsi Nusatenggara Timur.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *