Yayasan Riyadhus Shalihin Indonesia

Jangan Tinggalkan Dakwah

Jangan Tinggalkan Dakwah

Pemuda yang melakukan kemaksiatan –demikian pula kita semuanya- merasakan pertentangan dan pergulatan di antara dua hal: Dia mendengar hadits tentang dakwah dan mengingkari kemungkaran, dan nash-nash yang memerintahkan serta menganjurkan hal itu mengetuk-ngetuk telinganya. Dia melihat di depan matanya figur-figur teladan dari orang-orang yang melakukan kebajikan dan aktif dalam dakwah.

Semua ini mengajaknya untuk ikut serta dan terjun ke dalam medan dakwah serta berjalan bersama kefilah tersebut, sebab waktu dan umur itu tidak akan pernah menunggu.

Saat semangat dalam jiwanya menggebu-gebu dan siap diaplikasikan menjadi kesungguhan, perbuatan dan sikap, muncullah suara lain yang mengoyaknya dari dalam dirinya seraya berkata kepadanya:

Apa ini? Apakah kamu akan berdakwah untuk mengajak manusia kepada agama Allah sedangkan kamu sendiri masih kotor dan banyak dosa? Dakwah dan membela agama adalah kedudukan mulia dan derajat tinggi yang tidak layak untuk orang-orang sepertimu; orang-orang yang banyak melakukan kesalahan. Lebih baik kamu berdakwah kepada dirimu sendiri, menyuruhnya berbuat kebajikan dan mencegahnya berbuat kemungkaran!

Adakalanya suara ini menang sehingga dia mengurungkan niatnya dan menunda untuk fase berikutnya. Bisa dilihat bahwa perilaku ini dipengaruhi oleh tekanan syar’i dan bahwa perasaan berdosa menyebabkan dirinya urung memasuki medan dakwah tersebut.

Mencapai hasil yang langsung dengan kesalahan dan kebenaran suatu ucapan adalah logika yang tertolak, baik secara syar’i maupun secara akal. Karena itu pernyataan tersebut harus ditimbang dengan nash-nash syariat dan logika akal yang kokoh menurut timbangan syariat. Mungkin benak Anda wahai saudaraku yang mulia, cukup mampu untuk mendiskusikan masalah ini. Kita katakan, dan kepada Allah kita meminta taufik dan kepada-Nya kita meminta pertolongan:

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa perkataan yang tidak dibuktikan dengan perbuatan adalah perbuatan yang tercela, menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pernyataan generasi salaf umat ini.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Sangatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3)

Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan,

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

“Apakah kalian menyuruh orang-orang (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Kitab? Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)

Disebutkan dalam Sunnah Nabi dari hadits Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau bersabda,

“Seseorang didatangkan pada Hari Kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka sehingga usus-ususnya keluar, lalu dia berputar sebagaimana keledai berputar mengelilingi alat penggilingan tepung. Lalu para penghuni neraka berkumpul padanya seraya berkata, ‘ Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu suka menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran?’ Dia menjawab, ‘Dulu aku menyuruh kalian berbuat kebajikan tetapi aku tidak melakukannya, dan aku melarang kalian berbuat kemungkaran tetapi aku melakukannya’.” (HR. Al-Bukhari, no. 3267 dan Muslim, no. 2989)

Terdapat berbagai riwayat dari generasi Salaf mengenai hal itu, di antaranya pernyataan Abu ad-Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu, “Seseorang tidak benar-benar memahami agamanya sehingga dia membenci manusia (yang bermaksiat) karena Allah, kemudian dia melihat kembali kepada dirinya sehingga dia lebih membenci dirinya.” (Tafsir Ibnu Jarir, 1/258)

Kedua: Apakah celaan yang terdapat dalam nash-nash tersebut merupakan celaan kepada seseorang atas dakwahnya dan pengingkarannya terhadap kemungkaran, ataukah itu celaan untuknya karena perbuatan mungkarnya, padahal dia adalah orang yang paling utama untuk menjauhinya? Barangkali yang kedua itulah yang lebih sesuai dengan nash-nash syariat, sebab tidak masuk akal bila seseorang dicela dan dikritik karena perbuatan baik, dan amal kebajikannya menjadi keburukan yang harus disiksa karenanya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah memilih pengertian kedua ini, beliau berkata, “Yang dimaksudkan bukan mencela mereka atas seruan mereka kepada kebajikan sekaligus meninggalkannya, tetapi mereka dicela karena mereka meninggalkannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/129)

Ketiga: Apakah ada, tatkala kita memukul rata simpulan ini, orang yang tidak pernah jatuh dalam kemaksiatan dan tidak pernah melakukan kesalahan? Manusia semuanya pernah melakukan kesalahan dan dosa. Tidak mungkin seseorang mencapai keadaan di mana dia tidak bermaksiat di dalamnya. Kemudian dapatkah kita mengatakan setelah itu, bahwa seseorang tidak berhak untuk menyuruh orang lain agar takut kepada Allah, karena dia pasti pernah melakukan kemaksiatan, dan itu muncul karena kurangnya rasa takut kepada Allah, atau seseorang tidak berhak untuk menyuruh mereka supaya bertakwa kepada-Nya, padahal dia sendiri masih berbuat maksiat; karena dia belum bertakwa kepada Allah?

Ringkasnya, ini berarti bahwa seseorang tidak boleh berdakwah dan menyuruh orang berbuat kebaikan; sebab tidak mungkin seseorang dapat mencapai keadaan di mana dia tidak pernah melakukan kemaksiatan.

Sa’id bin Jubair berkata, “Sekiranya seseorang tidak boleh menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu (kesalahan pun), maka tidak ada seorang pun yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran.” Malik berkomentar, “Dia benar. Siapakah yang pada dirinya tidak ada sesuatu pun (kesalahan)?” (Ibid, 1/129-130)

Seorang penyair mengisyaratkan makna ini lewat syairnya:

Seandainya orang yang berdosa tidak boleh memberi nasihat di tengah manusia

Lalu siapakah yang akan menasihati orang-orang yang bermaksiat sepeninggal Nabi Muhammad?

Keempat: Sikap yang harus dilakukan seseorang terhadap kemungkaran ialah dua hal: Pertama, meninggalkan kemungkaran itu; Kedua, mencegahnya. Sedangkan sikap yang wajib dilakukan olehnya terhadap kebajikan ialah dua hal juga: Pertama, mengerjakannya; Kedua, memerintahkannya. Tatkala seseorang meninggalkan kewajiban yang pertama, apakah kewajiban yang kedua gugur darinya? Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Masing-masing dari dua perkara ini, yaitu menyuruh kepada kebajikan dan mengerjakannya, adalah kewajiban yang tidak dapat gugur salah satunya dengan meninggalkan yang lainnya, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat para ulama dari kalangan salaf dan khalaf.” (Ibid, 1/129)

Dengan Anda meninggalkan nasihat dan amar ma’ruf nahi mungkar, lantaran Anda mengerjakan kemungkaran atau meninggalkan kebajikan itu, maka ini adalah kemungkaran yang lain.