Yayasan Riyadhus Shalihin Indonesia

Jangan Cela Orang Lain Karena Perbuatan Dosanya

Jangan Cela Orang Lain karena Perbuatan Dosanya

Seorang Muslim Mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan seluruh amal yang dicintai oleh-Nya, serta dia membenci kemaksiatan kepada Allah dan orang yang melakukannya. Dia memiliki perasaan yang halus dan jiwa yang pencemburu, tidak bersikap toleran kepada orang yang berani melanggar larangan-larangan Allah ‘Azza wa Jalla, sebab cinta karena Allah dan benci karena-Nya adalah tali iman yang peling kokoh. Barangsiapa kehilangan hal itu, hendaklah dia mengintropeksi dirinya dan memeriksa keimanannya.

Tetapi adakalanya dia berlebih-lebihan dalam hal itu, yang semestinya dia cukup membenci kemaksiatan dan pelakunya, dia malah mencelanya dan bersikap congkak kepadanya. Boleh jadi ancaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan berlaku padanya,

“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa (yang dilakukannya), maka dia tidak akan mati sehingga dia melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, 2505)

Dalam hadits yang diriwayatkan Jundab bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhu,

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita bahwasanya seseorang berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.’ Lalu Allah Ta’ala berfirman, ‘Siapa yang berani bersumpah atas nama-Ku bahwa aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuninya dan Aku telah menghapus amalmu.’ Atau sebagaimana yang beliau sabdakan.” (HR. Muslim, 2621)

Berdasarkan riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Pernah ada di kalangan Bani Israil dua orang laki-laki saling bersaudara. Salah satunya sering melakukan dosa sedangkan yang lainnya giat beribadah. Laki-laki yang giat beribadah selalu melihat yang lainnya berada di atas dosa, maka dia berkata, ‘Hentikan (perbuatan dosamu)!’ Lalu pada suatu hari dia melihatnya melakukan suatu dosa, dia berkata, ‘Hentikan!’ Maka dia menjawab, ‘Biarkanlah aku bersama Rabbku; apakah kamu diutus untuk mengawasi aku?’ Maka dia berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu, -atau Dia tidak akan memasukkan kamu ke surga-.’ Kemudian Allah mengambil ruh keduanya sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb alam semesta. Lalu Allah bertanya kepada laki-laki yang giat beribadah tersebut, ‘Apakah kamu mengetahui tentang-Ku? Ataukah kamu berkuasa atas apa yang ada pada Tangan-Ku?’ Allah berkata kepada orang yang berdosa itu, ‘Masuklah ke surga berkat rahmat-Ku.’ Dan Dia berkata (kepada para malaikat) untuk yang lainnya, ‘Bawalah dia masuk ke neraka’.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkomentar, “Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh dia berkata dengan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR. Ahmad, 2/322, 363 dan Abu Dawud, 4901)

Kalimat yang menghancurkan dunia hamba tersebut dan Allah memasukkannya ke dalam neraka karenanya, bukan pernyataannya, “Hentikan (perbuatan dosamu)!” dan pengingkarannya atas apa yang dilakukan saudaranya. Melainkan sumpahnya kepada Allah dan perkataannya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunimu.”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

“Jika kalian melihat saudara kalian berbuat suatu dosa, janganlah kalian menjadi penolong setan terhadapnya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia, ya Allah, laknatilah dia!’ Tetapi mintalah kepada Allah keselamatan. Sesungguhnya kami, para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pernah mengatakan sesuatu tentang seseorang sehingga kami mengetahui di atas perkara apa dia meninggal. Jika dia ditutup (usianya) dengan kebajikan, maka kami mengetahui bahwa dia telah meraih kebajikan, dan jika ditutup usianya dengan keburukan, maka kami mengkhawatirkan amalnya atasnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, no. 20266)

“Abu ad-Darda’ pernah melewati seseorang yang telah melakukan suatu dosa, maka orang-orang memakinya. Lalu Abu ad-Darda’ bertanya, ‘Apa pendapat kalian sekiranya kalian mendapatinya dalam sumur, bukankah kalian akan mengeluarkannya?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Dia mengatakan, ‘Karena itu, janganlah kalian memaki saudara kalian, dan pujilah Allah yang telah menyelamatkan kalian.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Anda tidak membencinya?’ Dia menjawab, ‘Aku hanya membenci amal perbuatannya. Jika dia meninggalkannya, maka dia adalah saudaraku.’ Abu ad-Darda’ mengatakan, ‘Berdoalah kepada Allah pada saat kamu bergembira, semoga Dia mengabulkanmu pada saat kamu menderita’.” (Ibid, no. 20267; dan diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari jalan Abdurrazzaq, 1/225)

Dengan demikian, maka apa yang dilakukan sebagian pemuda, yaitu mengkritik seseorang bahwa dia terjerumus dalam kemaksiatan dan melakukan ini dan itu, tidak bisa dipastikan bahwa itu adalah kecemburuan yang terpuji bahkan bisa merupakan bentuk celaan. Yang paling utama bagi seorang Muslim ialah sibuk dengan dirinya sendiri dan takut terhadap dosa-dosanya. Dia merasa bahwa kewajibannya terhadap kesalahan saudaranya adalah sebatas memberi nasihat, menutupi kesalahannya, mendoakannya, dan memohon keselamatan kepada Allah.

Perbuatan ini adalah bukti sikap melampaui batas dari pelakunya dalam hal rasa percayanya terhadap dirinya sendiri dan menganggap bersih dirinya, padahal teperdaya adalah salah satu pintu kebinasaan dan salah satu tanda seorang hamba merasa tidak butuh kepada pertolongan Rabbnya. Dan ini adalah sebab seseorang dikuasakan kepada dirinya sendiri.

Betapa jauhnya orang ini dengan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang paling mengenal Allah, yang salah satunya (Yakni Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Ed. T.) mengucapkan,

“Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun bagiku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, nisacaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud: 47)

Yang kedua (Yakni Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Ed. T.) mengucapkan,

“Dan jika Engkau tidak menghindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan) mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)

Dan yang ketiga (Yakni Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Ed. T.) ketika berkata kepada Rabbnya setelah menghancurkan berhala-berhala, dan dia menanggung resikonya,

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka di antara doa beliau adalah,

“Ya Allah, rahmat-Mu lah yang aku harapkan. Karena itu janganlah Engkau kuasakan aku kepada diriku sekejap pun, perbaikilah keadaanku seluruhnya. Tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad, 5/42 dan Abu Dawud, 5090)

Celaanmu kepada saudaramu berarti congkak dengan ketaatan, merasa diri bersih, memuji diri dan mengklaim bebas dari dosa. Sedangkan saudaramu menyadari dosanya dan mungkin dia menyesali dosanya serta apa yang terjadi padanya berupa ketundukan, menghinakan dirinya, dan membebaskan diri dari penyakit merasa bersih dari dosa, sombong dan bangga diri. Berdirinya di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan yang khusyu’ dan hati yang menangis itu lebih bermanfaat baginya dan lebih baik daripada kecongkakanmu dalam ketaatan, menganggap banyak ketaatanmu, menghitung-hitungnya, merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya dengan hal itu. Betapa dekatnya orang yang bermaksiat tersebut dari rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang menunjuk-nunjukkan (ketaatannya) itu dari kemurkaan Allah. Suatu dosa, yang kamu merasa hina karenanya di hadapan-Nya itu lebih dicintai-Nya daripada ketaatan yang kamu tunjuk-tunjukkan di hadapan-Nya; pada malam hari kamu tidur (tidak melakukan qiyamul lail) dan pagi harinya kamu menyesal, itu lebih baik daripada pada malam hari kamu melakukan qiyamul lail dan pada pagi harinya kamu membanggakan diri. (Madarij as-Salikin, 1/197)