Yayasan Riyadhus Shalihin Indonesia

Jangan Berpisah dengan Orang-orang Baik

Jangan Berpisah dengan Orang-Orang Baik

Adakalanya seorang pemuda berkata pada dirinya, karena dia melihat dirinya terbelenggu dengan belenggu kemaksiatan dan tertawan dalam penjaranya, “Bagaimana mungkin aku bersahabat dengan orang-orang baik dan bergaul dengan mereka, sementara aku kotor dan sering melakukan kemaksiatan? Aku merasa bahwa aku munafik ketika bersahabat dengan mereka.” Dan tanda tanya lainnya.

Lintasan pikiran ini merupakan sesuatu yang tidak alamiah yang diakibatkan oleh tekanan dosa dan kesalahan terhadapnya. Seandainya dia merubah hal itu kepada ajakan yang kuat untuk bertaubat, berhenti berbuat maksiat, dan menyesal, maka itu lebih baik dan lebih utama.

Seandainya dia bertanya dengan ungkapan lain dan logika yang berbeda, maka dia akan mengatakan:

Pertama, persahabatanku dengan orang-orang yang baik dengan sendirinya adalah amal shalih, termasuk amal yang paling utama, sementara kebajikan akan menghapuskan keburukan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengategorikan orang yang mencintai saudaranya karena Allah, termasuk tujuh golongan yang akan diberi perlindungan oleh Allah pada suatu hari yang tiada naungan selain naungan Allah.

Kedua, mencintai orang-orang yang shalih menyebabkan seseorang bersama mereka, walaupun dia tidak mencapai kedudukan mereka dalam amal. Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Seseorang itu bersama dengan orang yang dicintainya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6170 dan Muslim, no. 2641)

Seorang badui bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Kapankah datangnya Hari Kiamat?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Apakah yang telah kau persiapkan untuk menghadapinya?” Dia menjawab, “Aku tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya dengan banyak shalat, tidak pula dengan banyak puasa dan banyak sedekah, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab,

“Kamu bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari, no. 6171 dan Muslim, no. 6239)

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, dia menuturkan,

“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‘Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang mencintai suatu kaum tetapi dia tidak mencapai kedudukan mereka?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Seseorang bersama orang yang dicintainya’.” (HR. Al-Bukhari, no. 6169 dan Muslim, no. 2640)

Selama hal ini telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lantas mengapa aku tidak membutuhkannya? Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan diriku pada kedudukan mereka dan membangkitkanku bersama mereka pada Hari Kiamat. Sloganku adalah:

Aku mencintai orang-orang shalih, padahal aku bukan termasuk mereka

Mudah-mudahan aku mendapatkan syafa’at karena mereka

Aku membenci orang-orang yang perniagaannya adalah kemaksiatan

Meskipun kami sama dalam barang perniagaan

Jika yang mengucapkan slogan tersebut adalah Imam asy-Syafi’i Rahimahullah sebagai bentuk ketawadhuan dan celaan terhadap dirinya, maka saya mengucapkan slogan itu sebagai kenyataan dari diri saya.

Ketiga, manusia itu ada tiga golongan:

1). Golongan yang membawa dirinya dengan kendali takwa dan mencegahnya dari kemaksiatan. Inilah yang terbaik. Mudah-mudahan Allah menyampaikanku pada derajatnya.

2). Golongan yang melakukan kemaksiatan kepada Allah dalam keadaan takut dan menyesal. Dia merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya yang besar, dan dia berharap suatu hari dia dapat berpisah dengan kemaksiatan tersebut.

3). Golongan yang mencari kemaksiatan, bergembira dengannya dan menyesal karena kehilangan hal itu.

Meskipun aku bukan termasuk golongan yang pertama –dan aku berharap kepada Allah semoga Dia memasukkan aku dalam golongan tersebut-, maka aku menjadi golongan yang kedua lebih baik dan lebih suci bagiku daripada menjadi golongan ketiga.

Keempat, bahwa penyesalan dan penderitaan karena melakukan kemaksiatan hanya dapat aku petik dari persahabatan yang baik. Inilah berkah mereka yang pertama dan buah mereka yang perdana. Tatkala aku berpisah dengan mereka, maka suara tersebut manurun dan pengaruh celaan terhadap diri berkurang, dan ketika itulah aku berpindah –semoga Allah tidak memperkenankannya- menuju neraka kemaksiatan. Orang-orang yang tidak pernah bergaul dengan orang-orang yang shalih mungkin tidak pernah sekalipun merasa menyesal dan merasakan pahitnya kemaksiatan. Adapun orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang yang shalih, mereka merasakan hal itu tatkala mereka melihat saudara-saudara mereka, sedangkan lidah mereka mengucapkan, “Mereka lebih baik dan lebih suci dibandingkan aku.”

Dengan demikian, persahabatanku dengan orang-orang yang baik menyebabkan aku merasa menderita akibat kemaksiatan. Dan ini dengan sendirinya adalah sebuah langkah, dengan seizin Allah, dalam meniti jalan taubat. Meskipun saya belum bertaubat, tapi orang yang mengerjakan kemaksiatan dengan penyesalan itu lebih baik daripada orang yang melakukan kemaksiatan dalam keadaan tertawa (gembira).

Kelima, ketika saya berpisah dengan orang-orang yang baik, apakah akan hilang apa yang aku derita dan aku akan terbebas dari penyakit maksiat tersebut? Ataukah saya akan kehilangan obat lalu penyakit semakin membesar? Seseorang harus bergaul; jika saya meninggalkan mereka, maka sebagai gantinya adalah orang yang saya ketahui berada dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada yang aku lakukan, sehingga hal itu melahirkan padaku sikap meremehkan kemaksiatan yang saya perbuat, bahkan mungkin tergoda untuk melakukan apa yang mereka perbuat. Kemudian saya tidak akan mendengar lagi nasihat dari mereka atau memperoleh peringatan dari mereka.

Seandainya dia melontarkan terhadap dirinya pertanyaan-pertanyaan di atas terhadap dirinya, niscaya dia keluar dengan hasil positif: bahwa keterjerumusan dia di dalam kemaksiatan dan kemalangan maksiat itu memicu dirinya untuk semakin bersahabat dengan orang-orang baik dan berusaha meraih hal itu, bukan menjadi perintang dan penghambat.

Jadi, wahai saudaraku yang mulia, lebih baik Anda memegang erat persahabatan ini, bahkan Anda lebih butuh kepada mereka. Anda tetap mencintai dan bersahabat dengan mereka, padahl Anda masih melakukan kemaksiatan, itu lebih baik bagi Anda daripada Anda berpisah dengan mereka sedang Anda tetap melakukan kemaksiatan.

Dzun Nun Rahimahullah menganggap bahwa bersahabat dengan orang-orang yang baik merupakan salah satu tanda bertaubat. Dia mengatakan, “Ada tiga perkara yang termasuk tanda taubat: Senantiasa menangisi dosa-dosa yang telah lalu, senantiasa takut terjerumus ke dalamnya, serta meninggalkan saudara-saudara yang buruk dan bergaul dengan orang-orang yang baik.”

Berteman dengan orang-orang yang baik memberi faidah kepada orang yang lebih rendah. Para pemuda penghuni gua (Ashhabul Kahfi) ketika mereka keluar, ditemani oleh seekor anjing sehingga anjing tersebut juga ikut disebutkan dalam Al-Qur’an.

Jika seekor anjing meraih derajat yang tinggi tersebut karena bersahabat dan bergaul dengan orang-orang shalih dan para kekasih Allah, sehingga Allah memberitakan hal itu dalam kitab-Nya; maka apa dugaan Anda mengenai kaum Mukminin yang bertauhid yang bergaul dan mencintai para wali dan orang-orang shalih? Bahka dalam hal ini terdapat hiburan bagi kaum Mukminin yang belum mencapai derajat kesempurnaan yang mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarga beliau yang merupakan sebaik-baik keluarga. (Tafsir al-Qurthubi, 5/3988)