Yayasan Riyadhus Shalihin Indonesia

Macam-macam Nadzar dan Hukumnya (lanjutan)

f. Nadzar pengekangan (nadzar marah)

Maksudnya, nadzar yang ditujukan untuk menahan diri dari suatu perkara atau untuk melakukan sebuah perkara, bukan dalam hal ibadah kepada Allah. Contoh, “Jika aku melakukan ini maka demi Allah aku akan menunaikan haji, atau bersedekah, atau berpuasa,” dan lain sebagainya.

Nadzar ini wujudnya seperti sumpah, sebab pelakunya tidak meniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tolok ukur suatu perkataan itu adalah maknanya, bukan redaksinya. Maksud dari nadzar tersebut adalah mendorong atau mencegah suatu perbuatan. Berdasarkan ini, pelaku tidak wajib memenuhi nadzarnya, dia wajib menunaikan kafarat sumpah jika melanggarnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad sesuai yang masyhur darinya, Imam Asy-Syafi’i pada salah satu perkataannya, dan pendapat yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur, Ibnu Al-Mundzir. Juga pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini juga merupakan perkataan Umar, Ibnu Abbas, Aisyah dan shahabat yang lain. (Fath Al-Qadir [5/93], Al-Majmu’ [8/459], Al-Mughni [11/194], Majmu’ Al-Fatawa [35/253])

Diriwayatkan dari Imran bin Hushain dengan sanad marfu’,

“Tidak ada nadzar karena marah, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (Dha’if. HR. Ahmad [4/433], dan perawi lain. Lihat: Al-Irwa’ [2578])

Hanya saja ini adalah hadits dha’if dan tidak shahih.

Ibnu Abbas pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seorang perempuan yang mengatakan akan menyembelih kurban bila ia mengenakan pakaiannya?” Ibnu Abbas bertanya, “Apakah dia mengucapkannya dalam kondisi marah atau kondisi ridha?” Orang-orang menjawab, “Dalam kondisi marah.” Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya, tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kemarahan. Hendaknya wanita itu menunaikan kafarat untuk sumpahnya.” (Sanadnya lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [35/356], menyadarkannya kepada Al-Atsram, ia berkata, “Abdullah bin Raja’ menceritakan kepada kami, Imran mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, dari Zararah bin Abu Aufa)

Sementara itu, Imam Malik dan Abu Hanifah dalam pendapat lama berpendapat, dalam kondisi ini seseorang wajib memenuhi nadzarnya.

Dalam masalah nadzar ini ada kondisi lain, yaitu seseorang yang bernadzar melakukan ketaatan dalam kondisi kafir, lalu masuk Islam. Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memenuhi nadzar orang itu setelah masuk Islam. Dalam hal ini ada dua pendapat: (Al-Muhalla [8/25], Nail Al-Authar [8/286])

Pertama, wajib memenuhi nadzar setelah masuk Islam. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Dawud Azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm. Mereka mengambil dalil sebagai berikut:

(1) Hadits riwayat Ibnu Umar, bahwasanya Umar berkata, “Wahai Rasulullah, pada masa jahiliyah aku pernah bernadzar untuk beri’tikaf di Masjidil Haram.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Penuhi nadzarmu (itu).” (HR. Al-Bukhari [2032], Muslim [1656])

(2) Hadits riwayat Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya seorang perempuan datang menghadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar untuk memukul rebana di hadapanmu.” Beliau bersabda, “Penuhi nadzarmu.” Ia berkata, “Aku bernadzar untuk menyembelih kurban di tempat ini dan ini (tempat kaum jahiliyah menyembelih kurban).” Beliau bertanya, “Kurban untuk patung?” Ia menjawab, “Bukan.” Beliau bertanya, “Untuk berhala?” Ia menjawab, “Bukan.” Beliau bersabda, “Penuhi nadzarmu.” (Sanadnya hasan. HR. Abu Dawud [2312], Lihat: Al-Irwa’)

Kedua, nadzar orang kafir tidak sah, sehingga ia tidak wajib memenuhinya bila telah masuk Islam. Ini adalah madzhab jumhur ulama. Hujjah mereka adalah sebagai berikut:

(1) Firman Allah Ta’ala,

لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

(2) Firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)

Ibnu Hazm membantah dalil ini, bahwasanya tidak ada hujjah di dalamnya, sebab ayat-ayat tersebut turun terkait orang yang meninggal dunia dalam kondisi kafir. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman,

وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ

“Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)

Meski demikian, jumhur ulama memperbolehkan jual beli orang kafir, pernikahannya, hibahnya, sedekahnya dan tindakannya memerdekakan budak.

Di dalam hadits riwayat Abu Hanifah, terkait kisah keislaman Tsumamah bin Utsal Radhiyallahu Anhu, disebutkan bahwa Tsumamah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Pasukan berkudamu menawanku, padahal aku ingin melaksanakan umrah, apa pendapatmu?” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira dan menyuruhnya untuk menunaikan umrah. (HR. Al-Bukhari [4372], Muslim [1764])

Tsumamah adalah orang kafir dan dia ingin menunaikan umrah, lalu dia masuk Islam. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menyuruhnya untuk melaksanakan niatnya.

Aku (Abu Malik) katakan, pendapat yang kuat adalah bahwa bila telah masuk Islam, seseorang wajib memenuhi nadzar yang dia ucapkan selagi kafir dulu. Wallahu A’lam.

g. Mengganti nadzar ketaatan bagi orang yang telah meninggal dunia

Jika seseorang bernadzar untuk melakukan satu ketaatan yang wajib dipenuhi, kemudian dia meninggal sebelum memenuhi nadzar itu, maka walinya menggantikan dia untuk memenuhi nadzarnya. Jika nadzar berupa harta, maka diambilkan dari harta orang tersebut sebelum dikurangi utang kepada orang-orang. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ

“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Allah Ta’ala menyebutkan utang secara umum, tidak memberi kekhususan, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Utang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan.” (HR. Al-Bukhari [1953], Muslim [1148])

Jika nadzar berupa ibadah, misalnya haji, puasa, (Hukum puasa atas nama orang meninggal telah dibahas pada Kitab Puasa, silakan merujuknya) i’tikaf dan lain sebagainya, maka wali dari orang yang meninggal itu menunaikan ibadah tersebut atas namanya. Dalilnya adalah sebagai berikut:

(1) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu Anhu meminta fatwa tentang nadzar yang pernah diucapkan ibunya, yang sang ibu meninggal sebelum memenuhi nadzarnya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya fatwa agar dia memenuhi nadzar atas nama ibunya. Maka selanjutnya itu menjadi sunnah. (HR. Al-Bukhari [2761], Muslim [1638]) Menurut sebuah riwayat, beliau bersabda,

“Penuhi nadzar itu atas namanya.”

(2) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia mengatakan, “Seorang perempuan datang menghadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata, “Ibuku meninggal dan dia memiliki tanggungan puasa nadzar, apakah aku berpuasa untuknya?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Bagaimana pendapatmu bila ibumu memiliki utang lalu kamu melunasinya, apakah itu terlaksana atas namanya?” Perempuan itu menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Penuhi nadzar itu atas nama ibumu.” (HR. Al-Bukhari [1953], Muslim [1148], dengan lafazh milik Muslim)

(3) Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa ia pernah beri’tikaf atas nama saudara laki-lakinya setelah saudaranya itu meninggal dunia. (Sanadnya dha’if. HR. Sa’ad bin Manshur [424], Ibnu Abi Syaibah [2/339])

h. Apakah nadzar shalat mesti dipenuhi untuk orang yang meninggal?

Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang tidak bisa menunaikan shalat atas nama orang lain, bahkan Ibnu Bathal menukil adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) tentang hal ini. Akan tetapi, pendapat ini terbantahkan oleh riwayat bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang mana ibunya bernadzar untuk shalat di Quba’, Umar berkata, “Dirikanlah shalat atas nama ibumu.” (Al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq dengan lafazh yang pasti, namun Al-hafizh Ibnu Hajar tidak menyatakan sanadnya tersambung, At-Taghliq [5/203]) Dawud dan Ibnu Hazm (Al-Muhalla [8/28]) malah mewajibkan untuk mengqadha’ (mengganti) shalat yang dinadzarkan oleh orang meninggal.

2. Nadzar bukan berupa ketaatan kepada Allah Ta’ala

Dalam hal ini ada dua jenis. Penjelasannya sebagai berikut :

a. Nadzar yang bukan berupa kemaksiatan (perkara mubah)

Jika seseorang bernadzar melakukan sesuatu yang bukan berupa kemaksiatan, tetapi bukan pula amal ketaatan seperti perkara mubah, maka tidak wajib untuk memenuhinya. Jumhur ulama berpendapat bahwa jenis ini tidak disebut nadzar, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tengah berpidato, tiba-tiba beliau menjumpai seorang laki-laki beridiri. Beliau bertanya tentang orang itu. Para hadirin menjawab, “Dia adalah Abu Isra’il, dia bernadzar untuk terus berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan terus berpuasa.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Suruh dia untuk berbicara, berteduh, duduk dan menyempurnakan puasanya.” (HR. Al-Bukhari [6704], Abu Dawud [3300], Ibnu Majah [2136], dan perawi lainnya)

Di dalam hadits ini dinyatakan dengan jelas bahwa untuk nadzar ketaatan, puasa misalnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk disempurnakan dan dipenuhi nadzarnya. Sedangkan nadzar terkait perkara mubah, bukan ketaatan, misalnya tidak berbicara, tidak duduk, tidak berteduh, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh orang itu untuk tidak memenuhinya.

Imam Ahmad berpendapat, bahwa nadzar berupa perkara mubah itu sah, akan tetapi ada pilihan antara memenuhi atau tidak memenuhinya. Jika tidak dipenuhi maka wajib ditunaikan kafaratnya.

Shadiq Khan memilih pendapat bahwa nadzar mubah itu benar disebut sebagai nadzar, sehingga ia masuk ke dalam nash-nash umum yang memerintahkan pemenuhan nadzar. Ia berkata, “Hal ini didukung oleh riwayat Abu Dawud yang berbunyi, “Seorang perempuan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku bernadzar bahwa bila engkau telah kembali dari peperangan dengan selamat, aku akan memukul rebana di hadapanmu.’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Penuhilah nadzarmu (itu).” (HR. At-Tirmidzi [3690, Abu Dawud 3312], Ahmad [5/356], Ibnu Hibban [4386])

Memukul rebana, jika pun tidak mubah, hukumnya makruh atau lebih berat dari makruh, namun bukan sebuah ketaatan selamanya. Bila hukumnya mubah, maka riwayat ini menjadi dalil wajibnya memenuhi nadzar mubah. Bila hukumnya makruh, maka izin untuk memenuhi nadzar menunjukkan bahwa nadzar mubah lebih utama untuk dipenuhi. Begitu pun kewajiban kafarat bagi orang yang bernadzar tanpa menyebutkan objek nadzarnya, (Akan disebutkan pada tempat tersendiri) manunjukkan bahwa nadzar mubah lebih utama untuk ditunaikan kafaratnya bila tidak dipenuhi. Kesimpulannya, nadza mubah tidak lepas dari dua hukum yakni, wajib memenuhinya atau wajib menunaikan kafarat bila tidak dipenuhi.” (Ar-Raudhah An-Nadiyyah [hal 177-178])

Al-Baihaqi berkata (10/77), “Sepertinya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan perempuan tersebut untuk memukul rebana karena merupakan perkara mubah. Ia memperlihatkan kegembiraan atas kepulangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan selamat, bukan untuk alasan memenuhi nadzar. Wallahu A’lam.”

Aku (Abu Malik) katakan, akan tetapi perkataan Al-Baihaqi ini sulit diterima, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada perempuan tersebut,

“Jika kamu bernadzar maka lakukanlah. Jika tidak maka jangan kamu lakukan.” (Ini adalah lafazh Ahmad [5/353], dan Ibnu Hibban [4386])

Ini menunjukkan bahwa perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu adalah sebagai pemenuhan nadzar. Akan tetapi tersisa masalah, yaitu memukul rebana di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan disaksikan sejumlah besar shahabat bukan tindakan yang disyariatkan. Secara zhahir, hadits ini terjadi dalam konteks kasus individu, tidak berlaku umum, tidak seyogianya mengambil dalil darinya. Pada dasarnya, nadzar itu terkait amal ketaatan. Nadzar adalah ibadah sehingga hanya berupa perkara yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala.

Menurut hemat saya (Abu Malik), perkara mubah itu sendiri mesti diperhatikan lebih dahulu. Bila merupakan sarana menuju perkara wajib atau sunnah, maka sah bernadzar dengannya. Sebab, sarana memiliki hukum seperti hukum tujuan. Jika bukan, maka yang benar, bernadzar dengannya tidak sah. Sebagaimana pendapat jumhur ulama. Wallahu A’lam.

b. Nadzar maksiat

Jika seseorang bernadzar melakukan kemaksiatan, seperti halnya minum arak, membunuh jiwa yang terjaga kesuciannya, menyembelih kurban di kuburan, mengadakan perjalanan jauh guna beribadah ke selain tiga masjid yang telah disebutkan dalam hadits, membedakan perlakuan terhadap anak, mengutamakan sebagian anak tanpa sebagian yang lain, melarang anak untuk mendapatkan harta peninggalan, dan sebagai bentuk kemaksiatan lainnya, maka tidak wajib bahkan haram untuk memenuhi nadzar tersebut. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

(1) Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaklah ia menaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah bermaksiat kepada-Nya.” (Shahih. Telah disampaikan pada awal bab)

(2) Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak boleh memenuhi nadzar berupa kemaksiatan, dan tidak boleh memenuhi nadzar terkait apa yang tidak dimiliki seorang hamba atau anak Adam.” (HR. Muslim [1641], Abu Dawud [3316], An-Nasa’i [7/19], Ibnu Majah [2124])

(3) Diriwayatkan dari Tsabit bin Adh-Dhahhak, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ada seorang laki-laki bernadzar menyembelih unta di Buwanah. Ia pun datang menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, “Aku bernadzar menyembelih unta di Buwanah.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah disana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah disana ada perayaan hari raya mereka?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Penuhi nadzarmu, sebab tidak ada pemenuhan nadzar berupa kemaksiatan kepada Allah, juga terkait apa yang tidak dimiliki anak Adam.” (HR. Abu Dawud [3312])

Di dalam hadits ini terhadap petunjuk nyata bahwa menyembelih kurban di tempat yang ada berhala disembah atau perayaan hari raya jahiliyah merupakan tindak kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, dan karenanya tidak boleh memenuhi nadzar terkait hal itu.

Dan hadits-hadits yang semakna sangatlah banyak.

(1) Wajibkah membayar kafarat jika tidak melaksanakan nadzar maksiat?

Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama: (Al-Mughni [10/69], Al-Muhalla [8/4-6], Nail Al-Authar [8/281])

Pertama, pelaku nadzar maksiat tidak wajib menunaikan kafarat jika melanggar nadzarnya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad. Hujjah mereka adalah:

(a) Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan.” (Shahih. Telah ditakhrij sebelumnya) Jadi, nadzar dalam kemaksiatan tidak sah.

(b) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah bermaksiat kepada-Nya.” (Shahih. Telah disampaikan di awal bab) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyuruh menunaikan kafarat jika seseorang tidak melaksanakan nadzar tersebut.

(c) Hadits-hadits terkait perempuan yang bernadzar menyembelih unta Adhba’, dan laki-laki yang bernadzar untuk tidak berteduh dan berbicara, dan hadits-hadits lainnya, yang mana Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk tidak memenuhi nadzar, namun tidak disebutkan bahwa beliau mewajibkan kafarat atas mereka.

Kedua, wajib menunaikan kafarat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan riwayat lain dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Imran bin Hushain dan Samurah bin jundub Radhiyallahu Anhum. Hujjah pendapat ini adalah sebagai berikut:

(a) Hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Ada dua jenis nadzar; nadzar untuk Allah maka kafaratnya adalah memenuhinya, dan nadzar untuk setan, maka tidak boleh dipenuhi namun wajib menunaikan kafarat sumpah padanya.” (Hasan. HR. Al-Jarud [935], di antara jalurnya adalah Al-Baihaqi [10/72]. Riwayat serupa diriwayatkan oleh Abu Dawud [2322], dari jalur lain dari Ibnu Abbas, dan dia membenarkan status mauqufnya. Al-Albani menyatakan shahih, Ash-Shahihah [479])

(b) Hadits riwayat Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan, kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (Dinyatakan shahih oleh Al-Albani. HR. Abu Dawud [3290], At-Tirmidzi [1524], An-Nasa’i [2/145], Ibnu Majah [2125], Lihat: Al-Irwa’ [2590])

Pendapat yang kuat

Sudah dapat dipastikan, bahwa petunjuk dua hadits ini bila keduanya shahih, lebih kuat daripada petunjuk hadits-hadits yang menjadi landasan kelompok pertama, di sana kafarat tidak disebutkan. Sehingga, lebih didahulukan hadits yang menetapkan kafarat padanya. Wallahu A’lam.

(2) Bernadzar tanpa menyebutkan objek nadzar

Apabila seseorang mengucapkan nadzar secara mutlak, tidak menentukan atau menyebutkan objek nadzar, misalnya mengatakan, “Untuk Allah aku bernadzar.” Maka ia mesti menunaikan kafarat sumpah, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, “Barangsiapa mengucapkan nadzar yang tidak dia sebutkan bentuknya maka kafaratnya adalah kafarat sumpah. Barangsiapa mengucapkan nadzar dalam kemaksiatan maka kafaratnya adalah kafarat sumpah. Barangsiapa mengucapkan nadzar yang dia tidak kuasa untuk melaksanakannya, maka kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [4/173], dengan sanad mauquf, juga Abu Dawud [3322], dan menguatkan status mauqufnya)

Ada riwayat lain dengan sanad marfu’, yaitu hadits riwayat Uqbah bin Amir, dengan lafazh,

“Kafarat nadzar (bila tidak disebutkan bentuknya) adalah kafarat sumpah.” (Dha’if dengan lafazh tambahan di dalam kurung. HR. Abu Dawud [2324], At-Tirmidzi [1528], An-Nasa’i [7/26], Lihat: Al-Irwa’ [2586])

Hanya saja riwayat ini dha’if, namun shahih tanpa lafazh yang berada dalam kurung, karena sesuai dengan tema bab ini, seperti dijelaskan sebelumnya.

(3) Nadzar untuk selain Allah adalah syirik

Nadzar adalah ibadah, sehingga tidak boleh ditujukan untuk selain Allah Ta’ala. Barangsiapa mengarahkannya kepada selain Allah, baik malaikat yang dekat dengan Allah, rasul yang diutus, seorang wali selagi hidup ataupun sesudah meninggal, matahari, bulan dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan para penyembah berhala, kuburan dan sejenisnya, yang meyakini bahwa makhluk-makhluk itu bisa mendatangkan bahaya atau manfaat, bisa memenuhi kebutuhan atau menghilangkan musibah, berarti dia telah melakukan dosa terbesar yaitu syirik kepada Allah.

Ini mirip dengan apa yang disebutkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya,

وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ مِمَّا ذَرَاَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْاَنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوْا هٰذَا لِلّٰهِ بِزَعْمِهِمْ وَهٰذَا لِشُرَكَاۤىِٕنَاۚ فَمَا كَانَ لِشُرَكَاۤىِٕهِمْ فَلَا يَصِلُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَمَا كَانَ لِلّٰهِ فَهُوَ يَصِلُ اِلٰى شُرَكَاۤىِٕهِمْۗ سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan (bagian) untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am [6]: 136)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa siapa pun tidak boleh bernadzar untuk selain Allah, untuk nabi maupun selain nabi. Sungguh, nadzar seperti itu syirik dan tidak boleh dipenuhi.” (Majmu’ Al-Fatawa [1/286])

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Adapun nadzar untuk selain Allah, misalnya bernadzar untuk patung, matahari, bulan, kuburan dan lain sebagainya, maka kedudukannya seperti bersumpah bukan atas nama Allah meliputi segenap makhluk.”

Al-Amir Ash-Shan’ani berkata, “Adapun nadzar-nadzar yang dikenal pada masa sekarang berupa nadzar untuk kuburan, tempat-tempat keramat dan orang-orang mati, tidak perlu pembahasan (Artinya, tidak ada perbedaan pendapat) lagi terkait keharamannya. Sebab, pelaku nadzar meyakini bahwa penghuni kubur bisa memberi manfaat atau bahaya, bisa mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan, menghibur orang yang ditimpa musibah dan memberi kesembuhan bagi orang sakit, maka hukumnya haram seperti bernadzar untuk berhala. Haram hukumnya mencatat nadzar untuk tindakan ini karena berarti menyetujui perbuatan syirik. Wajib dicegah dan dijelaskan bahwa itu semua termasuk perkara haram terbesar, bahwa ia adalah perbuatan yang biasa dilakukan para penyembah berhala. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kabaikan berubah menjadi kemungkaran dan kemungkaran berubah menjadi kebaikan. Kini, ada bendera-bendera yang dikibarkan oleh para pencatat nadzar untuk orang mati, ada ruang penyambutan bagi mereka yang datang ke pekuburan untuk bernadzar, dan ada jagal yang siap menyembelih hewan kurban di depan pintu masuk pemakaman. Sejatinya tindakan-tindakan itulah yang biasa dilakukan para penyembah patung. Inna Lillahi wa Inna ilaihi Raji’un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Masyarakat kita bisa membaca tentang masalah ini di dalam risalah, Tathhir Al-I’tiqad min Dun Al-Ilhad (menyucikan keyakinan tanpa kedurhakaan).” (Subul As-Salam [4/1448])